SEGITIGA BEDA SISI
PAGI-PAGI sekali, saat gue nyabu –nyarap bubur ayam- di depan sekolah, Kinan menghampiriku.
“lin, gue boleh nanya nggak?” tanyanya ke gue sehabis pesan minuman.
“gue mau nanyain tentang seseorang sama lo,” cerocos Kinan tak memberi kesempatan.
“setau gue, lo kan deket sama Adit, lo pasti tahu dong semua hal-hal yang berkaitan dengan dia. Hobinya, tempat tongkrongannya, atau tipe ceweknya. Bantuin gue ya, Linda!” Kinan memohon.
“Ooo, jadi lo mau ngegebet Si Adit neh… cieeehh.”
“Bener kan lo tahu tentang dia?”
Akhirnya gue bilangin juga kalo Adit itu jago basket dan bisa main piano.
“berarti bisa nyanyi juga dong” celetuk kinan penuh semangat.
“nyantai aja kalee. Sorry nih, untuk yang satu itu, dengan sangat menyesal gue harus bilang: suaranya tuh fals!”
“terus, tipe ceweknya gimana?” Kinan tak peduli.
“dia suka cewek yang enak di ajak ngobrol, pengertian, nggak posesif – mau tau semua yang dia lakuin. Pokonya cewek itu easy going. Kalo Adit pengen curhat, ya di dengerin, tapi kalo nggak, ya diemin aja,” jawab gue panjang lebar.
“menurut lo, gue masuk tipenya nggak?” Tanya kinan pantang menyerah, sekalipun kali ini mendadak tampang lesu.
“kalo mau dia suka sama lo, bukan berarti lo harus jadi tipe cewek kaya yang ada dipikirannya. Be your self aja kale….”
***
SUATU siang di kelas.
“Dit, lo ikutan survey ke anyer nggak?” Tanya gue sambil mencondongkan kepala ke tempat duduk Adit.
“Emangnya siapa aja yang bakalan ikut?” Adit balik bertanya.
“Lo ini gimana sih? Ditanya kok malah balik nanya. Ya paling pengurus inti sama seksi humas.” Jawab gue.
“Berangkat jam berapa?” tanya Adit dengan tatapan matanya yang bikin gue salting.
Nggak tahu sejak kapan Adit terasa karib dengan gue. Dia sering menceritakan segala kekhawatirannya, kebahagiaannya, dan segala kebimbangannya pada gue. Gue juga nggak tau sejak kapan gue mulai menunggu-nunggu ceritanya, keluh kesah, dan tentu tatapan matanya yang terkadang menampakkan kesedihan.
“besok ngumpul sekolah, jam 7 Biar nggak kena macet. Juga kita bisa lebih lama di sana, jawab gue penuh semangat. Ooo…, lagi-lagi mata itu bikin gue begitu terlena.
“Oke siap boss!” jawab adit.
***
SESAMPAI di Anyer, seusai santap siang,gue dan temen-temen mutusin bermain-main di pantai. Semuanya terlibat, nggak ada yang nggak ikut nyebur ke air. Begitu mataharinya ambles di cakrawala, temen-temen beranjak ke cottage – kecuali gue dan Adit.
“Lo nggak masuk lin? Ntar masuk angin loh,” ucap adit sambil duduk di sebelah gue.
“Ntar lagi aja. Di Jakarta kan lo nggak bakalan liat sunset yang begini indahnya,” sahut gue sambil terus memandangi laut. Romantic amat, ya… “Kalo lo mau ke dalam, nggak apa-apa kok,” sambung gue sambil memainkan pasir.
Tiba-tiba saja gue udah dalam pelukan adit. Gue kaget, tapi gue benar-benar ngerasain kehangatannya.
“Gue ngaak akan ninggalin lo sendirian. Lo masuk, yaa… baju lo udah basah gini!” bisik adit agak melonggarkan pelukannya.
Entah karena terbawa suasana pantai yang menghanyutkan atau karena terpukau tatapan mata adit yang juga sama-sama menghanyutkan, gue nggak sanggup menolak saat bibirnya mendekai bibir gue. Justru di saat itu, mendadak gue teringat wajah Kinan yang selalu berseri-seri kala membicarakan adit. Gue menarik tubuh dari pelukannya.
“Sorry Lin, bukannya gue mau berbuat yang nggak sopan sama lo. Gue…”
“Udahlah, Dit, nggak usah di bahas,” sergah gue menggigil.
“Lin, selama ini gue bener-bener sayang sama lo. Cuma lo yang mau dengerin semua cerita masalah-masalah gue. Cuma lo yang selalu bantu ngadepin masalah-masalah gue, Lin. Selama ini gue nggak yakin apa harus jujur sama lo. Gue takut juga nggak ingin suatu hari nanti ngerasa nyesel karena nggak ngungkapin isi hati gue. Lin, gue ingin selalu ngelindungi lo. Gue ingin jadi cowok lo. Lo mau kan?” ucap adit sambil menatap gue tajam.
“Dit, apa lo nggak tau kalo Kinan itu suka sama lo? Gue nggak mau nyakitin perasaan dia. Lagi pula Kinan itu lebih segalanya, Dit.” Sahut gue.
Gue mulai merasa mual.
“Tapi lin, cinta nggak bisa di paksain. Apa gue salah kalau gue lebih milih lo ketimbang Kinan? Gue lebih milih lo walau lo nggak lebih pintar, atau lebih kaya dari Kinan. Gue sayang sama lo walau lo sering ngecengin gue dan terkadang galak sama gue. Itu namanyanya cinta yang tulus, Linda. Lagipula siapa yang bilang lo nggak lebih cantik dari Kinan? Lo punya sesuatu yang nggak dimiliki cewek lain!”
Gue lihat ada yang terluka dalam hati Adit. Gue lihat dari tatapannya. Haruskah gue menyakiti adit? Tapi gue nggak sanggup membuat Kinan kecewa!.
“Tapi, dit, gimana lo bisa milih gue ketimbang Kinan padahal lo belum satu kalipun ngobrol sama dia? Kenapa nggak lo coba dulu? Siapa tau aja lo bisa ngerasain chesmystri? Siapa tau lo juga bisa curhat-curhatan sama dia…”
“Yaudah kalo lo maunya gitu Lin. Gue akan terutin lo!”
***
TIGA bulan sejak kejadian di Anyer, gue lihat adit begitu mesra dengan Kinan. Tak jarang gue diajak berpergian bareng mereka. Adit sudah memperlakukan Kinan dengan sangat romantis dan istimewa. Cemburukah gue? Mungkin… Mungkin juga gue merasa agak menyesal, tapi mungkin inilah jalan terbaik.
Ah, biarlah segitiga diantara kami tidak sama kaki, tidak pula sama sisi.
Mencari, mendapatkan, dan memlihara persahabatan jauh lebih susah ketimbang memburu, menangkap, memelihara kekasih.
Aku percaya, Tuhan akan menjadikan segalanya indah pada waktunya.
penulis: LARASATI AMANAH
0 komentar:
Posting Komentar